{إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا
يُؤْمِنُونَ (6) }
Sesungguhnya orang-orang kafir,
sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan,
mereka tidak juga akan beriman.
Innal lazina kafaru,
sesungguhnya orang-orang kafir —yakni orang-orang yang menutup perkara yang hak
dan menjegalnya— telah dipastikan hal tersebut oleh Allah akan dialami mereka.
Yakni sama saja, kamu beri mereka peringatan atau tidak kamu beri peringatan,
mereka tetap tidak akan mau beriman kepada Al-Qur'an yang engkau datangkan
kepada mereka. Makna ayat ini semisal dengan ayat lain-nya, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ
عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ وَلَوْ جاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ
حَتَّى يَرَوُا الْعَذابَ الْأَلِيمَ
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap
mereka kalimat (azab) Tuhanmu tidaklah mereka akan beriman, meskipun datang
kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang
pedih. (Yunus: 96-97)
Allah Swt. telah berfirman menceritakan keadaan orang-orang
yang ingkar dari kalangan ahli kitab:
وَلَئِنْ أَتَيْتَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil), semua
ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu. (Al-Baqarah: 145)
Seakan-akan makna ayat ini mengatakan bahwa sesungguhnya
orang yang telah dipastikan oleh Allah Swt. beroleh kecelakaan, maka tiada
jalan selamat baginya; dan barang siapa yang disesatkan oleh-Nya, niscaya tiada
seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Untuk itu, hai Muhammad, janganlah
dirimu merasa berdukacita dan kecewa terhadap sikap mereka, teruskanlah
penyampaian risalahmu kepada mereka. Barang siapa yang menerima seruanmu, maka
baginya pahala yang berlimpah; dan barang siapa yang berpaling, maka janganlah
kamu berdukacita terhadap mereka, hal tersebut bukan urusanmu. Pengertian ini
sama dengan apa yang diungkapkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya dalam ayat
yang lain, yaitu:
فَإِنَّما عَلَيْكَ
الْبَلاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسابُ
Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedangkan
Kamilah yang menghisab amalan mereka. (Ar-Ra'd: 40)
إِنَّما أَنْتَ نَذِيرٌ
وَاللَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan,
dan Allah pemelihara segala sesuatu. (Hud: 12)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka,
kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan
beriman. (Al-Baqarah: 6) Pada mulanya Rasulullah Saw. sangat menginginkan agar
semua orang beriman dan mengikuti petunjuknya, lalu Allah Swt. memberitahukan
kepadanya bahwa tidaklah beriman kecuali orang-orang yang telah ditakdirkan
oleh Allah Swt. sebagai orang yang berbahagia, dan tidaklah tersesat kecuali
orang-orang yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. sebagai orang yang celaka
sejak zaman azalinya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku
Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu
Abbas, bahwa makna "sesungguhnya orang-orang kafir" ialah kafir
terhadap kitab yang diturunkan kepadamu, sekalipun mereka mengatakan,
"Sesungguhnya kami telah beriman kepada kitab yang diturunkan kepada kami
sebelummu." Sedangkan kalimat "sama saja, kamu beri mereka peringatan
atau tidak kamu beri peringatan, mereka tetap tidak beriman" maknanya
ialah bahwa mereka telah kafir terhadap kitab yang ada di tangan mereka yang di
dalamnya terdapat sebutan namamu, dan mereka telah ingkar terhadap perjanjian
yang telah ditetapkan atas diri mereka. Pada kesimpulannya mereka kafir
terhadap kitab yang diturunkan kepadamu, juga kitab yang diturunkan kepada
rasul selainmu buat mereka sebelum kamu; mana mungkin mereka mau mendengar
peringatan dan larangan darimu, sedangkan mereka sendiri telah kafir terhadap
kitab mereka sendiri yang di dalamnya terkandung pengetahuan mengenai dirimu.
Abu Ja"far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu
Anas, dari Abu Aliyah yang mengatakan bahwa kedua ayat tersebut diturunkan
berkenaan dengan para pemimpin pasukan golongan yang bersekutu, yaitu mereka
yang disebut di dalam firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْراً وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دارَ
الْبَوارِ. جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَها
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar
nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?
yaitu neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya.
(Ibrahim: 28-29)
Makna yang kami sebutkan pertama —yaitu yang diriwayatkan
dari Ibnu Abbas di dalam riwayat Ali ibnu Talhah— merupakan makna yang lebih jelas,
kemudian ayat-ayat berikutnya ditafsirkan dengan makna yang selaras dengannya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan sebuah hadis dalam bab ini.
Untuk itu dia mengatakan:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عُثْمَانَ بْنِ صَالِحٍ
الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنِي عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو، قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنَّا نَقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ
فَنَرْجُو، وَنَقْرَأُ فَنَكَادُ أَنْ نَيْأَسَ، فَقَالَ: "أَلَا
أُخْبِرُكُمْ"، ثُمَّ قَالَ: {إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ
أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ} هَؤُلَاءِ أَهْلُ
النَّارِ". قَالُوا: لَسْنَا مِنْهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
"أجل"
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepadaku Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Masri, telah menceritakan kepada kami
ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Luhai'ah, telah menceritakan
kepadaku Abdullah ibnul Mugirah, dari Abul Haisam, dari Abdullah ibnu Amr yang
menceritakan bahwa pernah dikatakan kepada Rasulullah Saw., "Hai
Rasulullah, kami tetap membaca sebagian dari Al-Qur'an dan berharap kami tetap
membaca hingga hampir saja kami merasa jenuh." Nabi Saw. bersabda, "Maukah
kalian aku ceritakan ...." Kemudian beliau Saw. membacakan firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan
atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga beriman. (Al-Baqarah: 6)
Beliau Saw. bersabda, "Mereka adalah ahli neraka." Para sahabat
berkata, "Mudah-mudahan kami bukan termasuk mereka, wahai
Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Tentu saja tidak."
Firman Allah, "La yu-minuna" berkedudukan
sebagai jumlah yang mengukuhkan jumlah sebelumnya, yaitu sawa-un 'alaihim a-an
zartahum am lam tunzirhum. Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka dalam dua
keadaan tersebut tetap bersikap kafir. Karena itu, hal tersebut dikukuhkan
dengan firman-Nya, "La yu-minun" (mereka tetap tidak mau beriman).
Akan tetapi, dapat pula dikatakan bahwa lafaz la yu-minuna
berkedudukan sebagai khabar, karena bentuk lengkapnya adalah innal lazina
kafaru la yu-minuna. Dengan demikian, berarti firman-Nya, "Sawa-un
'alaihim a-an zartahum am lam tunzirhum" merupakan jumlah mu'taridah
(kalimat sisipan).
{خَتَمَ اللَّهُ عَلَى
قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ
عَظِيمٌ (7) }
Allah telah mengunci mati hati dan
pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang
amat berat.
Khatamallahu, menurut As-Saddi maknanya ialah "Allah
mengunci mati."
Menurut Qatadah, ayat ini bermakna "setan telah
menguasai mereka, mengingat mereka taat kepada keinginan setan, maka Allah
mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka
terdapat penutup. Mereka tidak dapat melihat jalan hidayah, tidak dapat
mendengarnya, tidak dapat memahaminya, dan tidak dapat memikirkannya".
Ibnu Juraij mengatakan bahwa Mujahid pernah mengatakan
sehubungan dengan makna khatamallahu 'ala qulubihim, bahwa makna at-tab'u
ialah dosa-dosa telah melekat di hati dan meliputinya dari semua sisinya hingga
menutupinya dengan rapat. Istilah menutup inilah yang dinamakan, yakni dilak.
Menurut Ibnu Juraij sendiri, yang terkunci mati ialah kalbu
dan pendengarannya. Selanjutnya Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Abdullah ibnu Kasir, bahwa ia pernah mendengar Mujahid berkata,
"Istilah ar-ran (kotoran) lebih ringan daripada istilah at-tab'u
(tertutup rapat), sedangkan at-tab'u lebih ringan daripada al-iqfal
(terkunci), dan al-iqfal lebih berat daripada kesemuanya."
Al-A'masy mengatakan bahwa Mujahid pernah berisyarat
memperagakan kepadaku dengan tangannya tentang pengertian ini. Dia mengatakan,
"Mereka berpendapat bahwa kalbu seseorang itu semisal dengan ini, yakni
telapak tangannya. Apabila seseorang hamba melakukan suatu dosa, maka sebagian
darinya tergenggam seraya menggenggamkan jari manisnya. Apabila dia berbuat
dosa lagi, maka tergenggam pula yang lainnya seraya menggenggamkan jari yang
lainnya, hingga semua jari jemari telapak tangannya tergenggam." Kemudian
dia mengatakan, "Maka tertutup rapatlah kalbunya oleh dosa-dosa
tersebut." Mujahid mengatakan pula, "Mereka memandang bahwa hal
tersebutlah yang dinamakan kotoran dosa yang menutupi."
Ibnu Jarir meriwayatkan hal yang sama dari Kuraib, dari
Waki', dari Al-A'masy, dari Mujahid.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa
sesungguhnya makna firman-Nya: Allah telah mengunci mati hati dan
pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7) merupakan berita dari Allah Swt.
tentang sifat takabur orang-orang kafir dan berpalingnya mereka dari perkara
hak yang disampaikan kepada mereka, yakni mereka tidak mau mendengarkannya.
Perihalnya sama dengan perkataan seseorang, "Sesungguhnya si Fulan tuli,
tidak mau mendengar perkataan ini," yakni bila dia tidak mau mendengarkannya
dan merasa tinggi diri, tidak mau memahaminya karena takabur.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat ini tidak benar,
karena sesungguhnya Allah Swt. telah memberitahukan bahwa Dialah yang mengunci
mati kalbu dan pendengaran mereka.
Az-Zamakhsyari mengulas dengan pembahasan panjang lebar
dalam menyanggah apa yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir tadi, dan Az-Zamakhsyari
menakwilkan makna ayat dari lima hipotesis, tetapi semuanya itu lemah sekali.
Menurut kami, tiada yang mendorongnya berbuat demikian melainkan hanya aliran
mu'tazilah yang dianutnya. Alasan yang dikemukakannya ialah bahwa makna
"mengunci mati hati mereka dan membuatnya menolak untuk menerima perkara
yang disampaikan kepadanya" merupakan suatu hal yang buruk (jahat) menurut
Az-Zamakhsyari, dan Allah Swt. Maha Tinggi dari perbuatan tersebut; demikianlah
keyakinannya.
Akan tetapi, seandainya dia memahami firman Allah Swt. yang
mengatakan:
فَلَمَّا زاغُوا أَزاغَ
اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah
memalingkan hati mereka. (Ash-Shaff: 5)
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ
وَأَبْصارَهُمْ كَما لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي
طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan
mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada
permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang
sangat. (Al-An'am: 110)
Masih banyak ayat serupa lainnya yang menunjukkan bahwa
sesungguhnya Allah Swt. mengunci mati kalbu orang-orang kafir dan menghalang-halangi
antara mereka dan hidayah, hanyalah sebagai balasan yang setimpal atas
perbuatan mereka yang terus-menerus tenggelam di dalam kebatilan dan mereka
tidak mau mengikuti perkara yang hak. Hal ini merupakan keadilan dari Allah
Swt. sebagai sikap yang baik, bukan yang buruk. Seandainya Az-Zamakhsyari
menyadari hal ini, niscaya dia tidak akan mengeluarkan pendapatnya itu.
Al-Qurtubi mengatakan, para ulama sepakat bahwa Allah Swt.
menyifati diri-Nya berlaku mengunci mati dan mengelak kalbu orang-orang kafir
sebagai balasan yang setimpal atas kekufuran mereka, sebagaimana yang
disebutkan di dalam firman-Nya:
بَلْ طَبَعَ اللَّهُ
عَلَيْها بِكُفْرِهِمْ
Sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena
kekafirannya. (An-Nisa: 155)
Selanjutnya Al-Qurtubi menyebutkan hadis yang menceritakan
tentang berbolak-baliknya hati, yaitu:
"وَيَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى
دِينِكَ"
Wahai Tuhan yang membolak-balikkan kalbu, tetapkanlah
kalbu kami dalam agama-Mu.
Ia mengetengahkan hadis Huzaifah yang terdapat di dalam
kitab Sahih, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا
عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ
قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ، حَتَّى تَصِيرَ عَلَى
قَلْبَيْنِ: عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَاءِ فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا
دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادٌّ كَالْكُوزِ
مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا"
Berbagai macam fitnah (dosa) ditampilkan pada kalbu
bagaikan tikar yang dianyam sehelai demi sehelai. Hati siapa yang melakukannya,
maka dosa itu membuat suatu noktah hitam padanya; dan hati siapa yang
mengingkarinya, maka terukirlah padanya suatu sepuhan yang putih. Hingga hati
manusia itu ada dua macam, yaitu ada yang putih semisal warna yang jernih; hati
yang ini tidak akan tertimpa bahaya oleh suatu dosa pun selagi masih ada langit
dan bumi. Sedangkan hati yang lainnya tampak hitam kelam seperti tembikar yang
hangus terbakar, ia tidak mengenal perkara yang makruf dan tidak ingkar
terhadap perkara yang mungkar... hingga akhir
hadis.
Ibnu Jarir mengatakan, "Menurut kami, yang benar
sehubungan dengan masalah ini adalah sebuah hadis sahih yang bermakna semisal
dari Rasulullah Saw., yaitu sebuah hadis yang diceritakan kepada kami oleh
Muhammad ibnu Basysyar; dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Safwan
ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ajlan, dari Al-Qa'qa', dari Abu
Saleh, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا كَانَتْ نُكْتة سَوْدَاءُ
فِي قَلْبِهِ فَإِنْ تَابَ ونزعَ وَاسْتَعْتَبَ صُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ زَادَ
زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِي قَالَ اللَّهُ
تَعَالَى: {كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}
Sesungguhnya orang mukmin itu apabila berbuat suatu
dosa, maka hal itu merupakan noktah hitam pada hatinya. Tetapi jika dia
bertobat dan kapok serta menyesali, maka tersepuhlah hatinya (menjadi bersih
kembali). Tetapi apabila dosanya bertambah, maka bertambah pulalah noktah hitam
itu hingga (lama-kelamaan) menutupi hatinya, yang demikian itulah yang
dimaksudkan dengan istilah ar-ran di dalam firman-Nya, "Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi mereka." (Al-Muthaffifin: 14)
Hadis ini dari segi yang sama diriwayatkan pula oleh Imam
Turmuzi dan Imam Nasai, dari Qutaibah, Lais ibnu Sa'd dan Ibnu Majah, dari
Hisyam ibnu Ammar, dari Hatim ibnu Ismail dan Al-Walid ibnu Muslim, semuanya
berasal dari Muhammad ibnu Ajlan dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi
mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, "Rasulullah Saw. telah
memberitakan bahwa dosa-dosa itu apabila berturut-turut membuat noktah hitam
pada hati maka ia akan menutup hati. Apabila telah tertutup, maka saat itulah
dilakukan penguncian oleh Allah Swt. dan dilak. Setelah itu tiada jalan bagi
iman untuk menembusnya dan tiada jalan keluar bagi kekufuran untuk
meninggalkannya."
Pengertian inilah yang dimaksud oleh istilah penguncian dan
pengelakan yang dinyatakan di dalam firman-Nya: Allah telah mengunci mati
hati dan pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7)
Pengertian ini diserupakan dengan penguncian dan pengelakan
hal yang dapat diinderawi dengan mata, yakni diserupakan dengan wadah dan botol
yang tidak dapat diambil isinya kecuali dengan membuka dan memutar tutupnya.
Dengan kata lain, demikian pula iman; tidak dapat sampai ke dalam kalbu
orang-orang yang disifati oleh Allah Swt. hati dan pendengaran mereka telah
dikunci mati, kecuali setelah membuka dan melepaskan penutup yang menguncinya.
Perlu diketahui bahwa waqaf yang sempurna (menghentikan
bacaan secara total) pada firman-Nya:
خَتَمَ اللَّهُ عَلى
قُلُوبِهِمْ وَعَلى سَمْعِهِمْ
Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7)
وَعَلى أَبْصارِهِمْ
غِشاوَةٌ
dan penglihatan mereka ditutup. (Al-Baqarah: 7)
Menandakan masing-masing sebagai jumlah yang sempurna.
Dengan kata lain, penguncian dilakukan terhadap hati dan pendengaran, sedangkan
penutupan terjadi pada penglihatan. Sebagaimana yang dikatakan As-Saddi di
dalam kitab Tafsir-nya, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga
dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud r.a. dan dari sejumlah sahabat
Rasulullah Saw. sehubungan dengan firman-Nya: Allah telah mengunci mati hati
dan pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7)
As-Saddi mengatakan, "Karena itu, mereka (orang-orang
kafir) tidak dapat berpikir dan tidak dapat pula mendengarnya." Disebutkan
pula, "Dan penglihatan mereka ditutup," makna yang dimaksud ialah
pada penglihatan mereka ada penutupnya hingga mereka tidak dapat melihat
perkara yang hak.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad
ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepadaku
pamanku (Al-Husain ibnul Hasan), dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ibnu Abbas,
bahwa Allah telah mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, sedangkan penutup
terdapat pada penglihatan mereka. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain
(yakni Abu Daud), telah menceritakan kepadaku Hajjaj (yakni Ibnu Muhammad
Al-A'war), telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang pernah mengatakan bahwa
penguncian terjadi pada hati dan penglihatan, sedangkan penutupan terjadi pada
penglihatan.
Allah Swt. telah berfirman:
فَإِنْ يَشَإِ اللَّهُ
يَخْتِمْ عَلى قَلْبِكَ
Maka jika Allah menghendaki, niscaya
Dia mengunci mati hatimu. (Asy-Syura: 24)
وَخَتَمَ عَلى سَمْعِهِ
وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلى بَصَرِهِ غِشاوَةً
Dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya.
(Al-Jatsiyah: 23)
Ibnu Jarir mengatakan lafaz gisyawah pada
firman-Nya, "Wa'ala absarihim gisyawatan" (Al-Baqarah: 7),
barangkali yang me-nasab-kannya adalah fi'il yang tidak disebutkan. Bentuk
lengkapnya ialah wa-ja'ala 'ala absarihim gisyawatan (Dan Dia menjadikan
pada penglihatan mereka penutup). Barangkali nasab-nya itu karena mengikut
kepada mahall i'rab dari lafaz wa 'ala sam'ihim, sebagaimana i'rab
ittiba' pada firman-Nya:
وَحُورٌ عِينٌ
Dan (mereka dikelilingi oleh) bidadari-bidadari yang
bermata jeli. (Al-Waqi'ah: 22)
Demikian pula pada perkataan seorang penyair, yaitu:
عَلَفْتُهَا
تِبْنًا وَمَاءً بَارِدًا ... حَتَّى شَتَتْ
هَمَّالَةً عيناها
وَرَأَيْتُ
زَوْجَكِ فِي الْوَغَى ... مُتَقَلِّدًا سَيْفًا
وَرُمْحًا
Aku beri dia makan makanan ternak dan kuberi dia
minum air yang sejuk, hingga terhapuslah belek pada kedua matanya, dan aku
lihat suamimu berada dalam pertempuran menyandang pedang dan memanggul tombak.
Bentuk lengkapnya ialah wasaqaituha ma-an baridan
dan mu'taqilan bumhan.
Setelah disebutkan sifat orang-orang mukmin dalam permulaan
surat melalui empat ayat yang mengawalinya, kemudian diperkenalkan pula keadaan
orang-orang kafir melalui dua ayat berikutnya, maka Allah Swt. mulai
menjelaskan keadaan orang-orang munafik. Orang-orang munafik adalah mereka yang
menampakkan lahiriahnya seakan-akan beriman, sedangkan di dalam batin mereka
memendam kekufuran. Mengingat perkara mereka membingungkan kebanyakan orang,
maka Allah Swt. mengetengahkan perihal mereka dalam pembahasan yang cukup
panjang dengan menyebutkan sifat dan ciri khas yang beraneka ragam, tetapi
masing-masing ragam dan bentuk tersebut merupakan ciri khas kemunafikan
tersendiri. Sebagaimana Allah pun menyebutkan perihal mereka dalam surat Baraah
(surat At-Taubah), surat Munafiqun, dan surat An-Nur serta surat-surat lainnya,
untuk memperkenalkan keadaan dan sepak terjang mereka agar dihindari dan jangan
sampai orang yang belum mengetahuinya terjerumus ke dalamnya.
Komentar
Posting Komentar